BAB 2 (Reading Dancing: Bodies and Subjects in Contemporary American Dance, karangan Susan L.Foster, 1986)
READING CHOREOGRAPHY: COMPOSING DANCES (MEMBACA KOREOGRAFI: MENYUSUN TARIAN)
Pembaca dan penyimpul: Sekar Sari
Literasi dalam tari bermula dengan melihat, mendengar, dan merasakan bagaimana tubuh bergerak. Pembaca tari harus belajar untuk melihat dan merasakan ritme dalam gerak, memahami tiga dimensi tubuh, memahami kemampuan anatomi dan hubungannya dengan gravitasi, mengidentifikasi gestur dan bentuk tubuh, dan bahkan untuk mengidentifikasi kembali ketika unsur-unsur tersebut ditampilkan oleh penari yang berbeda. Hanya penonton yang menguasai impresi visual, aural (berhubungan dengan telinga), dan kinestetik tarian tepat pada waktunya, dapat membandingkan momentum kesuksesan suatu tarian, menyadari persamaan, perbedaan, dan memahami pola yang lebih luas, frasa gerak dan bagian yang lebih luas; bahkan tarian sebagai satu kesatuan yang utuh. Penonton dapat memahami tidak hanya arti dari sebuah tarian tapi juga bagaimana tarian itu sendiri menciptakan maknanya.
Bab ini menawarkan cetak biru untuk pemaknaan koreografi, yang berasimilasi dengan sejumlah konvensi (pakem) koreografi:
1. Frame (kerangka): bagaimana tari tersusun sebagai sebuah peristiwa yang unik (memisahkan dirinya dari dunia).
2. Moda representasi: bagaimana tari merujuk pada dunia.
3. Style (gaya): bagaimana tari mencapai sebuah identitas pribadi di dunia dan genrenya,
4. Vocabulary (kosa gerak): unit dasar atau gerakan-gerakan untuk menyusun gerak.
5. Sintaks: prinsip-prinsip yang mengatur pilihan dan kombinasi gerak.
Frame (kerangka tari)
Penafsiran pentonton terhadap tari bermula dari pengumuman peristiwa tari yang akan diselenggarakan: di koran, majalah, poster, undangan, radio, TV. Unsur-unsur lain: deskripsi acara, ilustrasi visual, lokasi, harga tiket. Sejumlah hal tersebut dapat menggiring ekspektasi penonton.
Tahapan selanjutnya adalah ketika penonton memasuki area pertunjukan. Panggung prosenium, misalnya, cenderung memisahkan secara tegas antara kehidupan nyata dan karya seni. Misalnya terlihat dalam karya George Balanchine dan Martha Graham. Jenis panggung seperti ini menyiratkan konsep tentang sudut pandang yang tunggal dan hierarki dalam menyaksikan karya tari secara optimal. Sementara Deborah Hay lebih senang menggunakan ruang/panggung non-proscenium supaya dapat mengkomunikasikan kedekatan antara kehidupan sehari-hari dengan karya seni. Penonton akan memilih frame-nya sendiri dan bisa juga frame ini bersifat ambigu. Ada juga variasi panggung yang mengkombinasikan keduanya. Serta variasi lainnya. Hal ini menunjukkan peran arsitektur dalam memposisikan tarian dan menekankan partisipasi aktif penonton.
Susunan program dengan judul dan catatan dapat menjadi sarana indikasi untuk mengetahui apa yang dapat diharapkan dari pertunjukan tari. Misal karya Graham berjudul The Cave of the Heart akan menampilkan drama psikologis dan Dance for Three People and Six Arms adalah tarian tentang gerak tubuh tiga orang penari.
The nature of the program (sifat program): misalnya satu tarian panjang yang ditampilkan di malam hari atau pertunjukan yang terdiri dari bagian-bagian atau potongan-potongan tarian yang masing-masing bagian memiliki penampilan dengan set yang berbeda akan meninggalkan kesan yang beragam.
Awalan dan akhiran sebuah tari menjadi frame yang penting. Pencahayaan, masuknya penari, tirai, konteks arsitektural, dan kemudian ending misalnya dengan hormat merunduk atau justru mengundang penari untuk menari bersama.
Tatapan, pandangan, atau fokus para penari. Misalnya Deborah Hay menggunakan kontak mata antara penari dan penonton secara individu dan bahkan dengan sedikit senyum untuk membangun ikatan yang erat. Sedangkan para penari Balanchine dengan tatapan yang anggun ke bagian penonton walaupun tidak personal. Sementara itu Graham memfokuskan pandangan penari pada ruang di mana tarian itu dibawakan atau pada penari lain di ruang itu, tapi menegaskan bahwa tarian itu terpisah dari “dunia”. Cunningham memfokuskan pada dalam tubuh penari sendiri, baik keseluruhan gerak atau sensasi kinestetik pada bagian tubuh tertentu.
Moda representasi
Berikut adalah empat moda representasi yang dapat hadir secara tunggal maupun bersamaan dengan moda representasi yang lain. River atau sungai diambil sebagai contoh untuk dapat membedakan empat moda representasi ini.
1. Resemblace (Kemiripan):
‘Resemble the river’ (menyerupai sungai) adalah jika moda representasinya fokus pada kualitas tertentu, ciri, atau sifat sungai. Misal jalurnya yang berliku dan mengulang kualitas tersebut dalam gerak tari. ‘Berliku’ bisa hadir dalam pola lantai atau gerak lengan. Sesungguhnya gerakan ini juga ada kemiripan dengan aktivitas lain di dunia ini, misalnya gerakan ular pada rumput. Karena itu penonton sangat bisa salah dalam mengidentifikasi gerakan ini, walau jarang juga. Lanjutan gerakan dapat membantu proses identifikasi ini.
2. Imitation (Peniruan):
‘Imitates the river’ (meniru sungai) maksudnya moda representasi yang memproduksi gambaran sungai yang terencana (schematized). Imitasi berdasarkan pada kesesuaian ruang dan waktu antara entitas yang direpresentasikan dan langkah dalam tari. Lekuk, lebar, kecepatan aliran, warna, tekstur sungai secara hat-hati dipertimbangkan dan dihadirkan kembali dalam gerakan. Walaupun dalam skala tubuh manusia dan disederhanakan sedemikian rupa, gerakannya secara jelas mengindikasi ukuran dan bentuk kondisi nyata sungai. Misal sungai dihadirkan dengan gerakan berkesinambungan para penari yang berjajar dan menggunakan kostum berwarna biru yang melambai-lambai menyerupai sungai, dan para penari juga melambaikan tangannya satu sama lain berhadap-hadapan. Representasi imitatif semacam ini meninggalkan sedikit keraguan tentang referensi gerak, jadi penonton didorong untuk tidak hanya mengidentifikasi gerakan yang seperti sungai, tetapi juga untuk menilai seberapa mirip representasi secara keseluruhan dengan sungai.
3. Replication (Tiruan):
Ketimbang melakukan pendekatan dari sisi karakter visual dan aural, ‘Replication’ menunjukkan sungai sebagai suatu sistem yang dinamis, sebagai keseluruhan organik yang terdiri dari bagian-bagian yang berbeda secara fungsional. Gerakannya akan ‘mereplikasi’ hubungan bagian-bagian tersebut. Misal antara air yang mengalir dan saluran yang dibatasi, atau antara arus sungai dan sebuah pulau kecil. Hubungan tersebut dapat dilihat dari ketegangan antara energi yang melonjak dan batasan-batasan tubuh, atau dari interaksi antar penari misal yang yang satu mengisi atau mengelak satu sama lain. Sebagaimana moda representsi resemblance, bisa rancu. Misal hubungan dua penari di atas panggung bisa merepresentasikan ibu dan anak atau musim dingin dan musim semi. Tapi dalam moda ‘resemblance’ (kemiriripan) kualitas tunggal sungai dipilih dan digambarkan, sedangkan dalam moda ‘replication’ hubungan antar kualitas ditampilkan sehingga sistem alami sungai menjadi tema dominan.
4. Reflection (Pantulan, Cerminan, Renungan):
‘Reflecting the river’ – di sini artinya sungai sebagai salah satu dari banyak asosiasi yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas bergerak. Berbeda dari ketiga moda di atas, representasi reflektif membuat sebuah referensi eksklusif atas kinerja gerakan dan hanya secara singgung-menyinggung peristiwa-peristiwa lain di dunia. Makna ‘sungai’ di sini sangat ambigu. Faktanya ide sungai mungkin tidak diniatkan atau penting untuk mengintepretasi suatu tarian. Lari yang berkesinambungan dalam sebuah ruang pertunjukan tidak ada artinya selain gerakan itu sendiri, atau dapat mengundang asosiasi ‘sungai’. Karena itulah penari dapat, melalui ‘resemblace’ menghadirkan sungai sebagaimana dia ingin menyampaikan ‘akulah sungai’ atau menyatakan ‘aku seperti sungai’. Melalui ‘reflection’ penari menyatakan ‘I am riverness/akulah ke-sungai-an’, dan melalui reflection menyatakan bahwa gerakan tarinya adalah gerakan sungai atau apapun itu yang penonton lihat.
Mode representasi dapat ditemukan melalui bantuan catatan program pertunjukan (sinopsis karya) dan fokus para penari. Bermula dari gerakan individu dan frasa gerak, selanjutnya bagian yang lebih besar, lantas tarian secara keseluruhan, mode representasi ini menentukan bahasan utama dalam tari. Berikut adalah contoh moda representasi dalam sejumlah karya tari.
Dalam karya nya yang berjudul Apollo, Balanchine menampilkan Dewa Apollo yang sedang berlatih musik dan tari. Bagian penampilan tunggal tersebut menerapkan moda representasi imitatif. Sedangkan pada bagian tari bersama-sama moda representasinya imitatif dan reflektif karena gerakan tarinya untuk mereka sendiri juga dan belum tentu memiliki makna ataupun meniru kegiatan sehari-hari.
Contoh selanjutnya adalah karya ballet klasik Swan Lake yang merupakan kombinasi dari moda representasi imitatif dan reflektif (Imitation and Reflection). Dalam adegan kedua, Odette, si Ratu Angsa, berkata kepada pangeran, “Jangan tembak angsa-angsaku” dalam bahasa isyarat yang diambil dari gestur sehari-hari seperti bahasa isyarat yang mengilustrasikan kata jangan, tembak, dan kawanan angsa. Sekuens yang digunakan dalam tarian ini sifatnya naratif. Kostumnya menyerupai angsa dan set yang digunakan adalah pemandangan hutan. Lingkungan yang nyata. Poin-poin tersebut merujuk pada moda representasi imitatif. Akan tetapi ballet sendiri penuh dengan momen individual untuk capaian tari itu sendiri dan untuk keindahan yaitu merujuk pada moda representasi ‘Reflection’.
Nomor-nomor ballet klasik terkenal lainnya seperti La Sylphide (1932), Giselle (1841), The Sleeping Beauty (1890), The Nutcracker (1892) sama-sama mengkombinasikan tampilan yang formal dengan plot yang tidak begitu realis. Misalnya populasi boneka, penari oriental, tentara dengan ragam tingkah laku karakter-karekter ini. Semua itu masih masuk ke moda representasi imitatif. Imitatif memberikan rasionalitas, sedangkan reflektif memberikan aksi gerak yang indah. Sejumlah karya tari ini menggunakan moda imitatif dan memasukkan unsur reflectif.
Setiap koreografer juga memiliki kecenderungan penggunaan mode representasi. Berikut adalah contohnya:
-Deborah Hay: Resemblance –menyajikan kualitas tunggal, dan memasukkan reflection dan imitation. Di dalam catatan program (sinopsis) karyanya tertulis: mencuci rambut. Penarinya seolah mencuci rambut di sungai. Setelahnya, tertulis: berlari pelan. Walaupun ini gerakan berlari pelan, tapi gerakan ini tidak meniru gerakan lari. Sang penarinya terlihat memang berlari aja atau masuk dalam moda reflection.
-Isadora Duncan: Resemblance dan terkadang Imitation tetapi berdasarkan replication. Dia selalu menggambarkan hubungan jiwa (roh) dan tubuh. Waltzes (1913) Many Faces of Love’ penari menunjukan tingkah (resemble) kekaguman, kenikmatan sensual, kegenitan, dan banyak aspek lainnya dengan variasi bobot tubuh, gerakan cepat dan ringan, dan sensualitas. Seolah dari dalam tubuh keluar. Penonton melihat bahwa setiap penari memasang ‘faces of love’ versinya sendiri. Dalam karya Revolutionary Etude (1928) juga serupa, bedanya, di sini, penarinya mereplikasi hubungan derita dan kemarahan.
– Martha Graham: menyisipkan momen imitasi sesekali ke dalam kerangka replikasi yang lebih besar. Misalnya, koreografinya yang berjudul Embattled Garden (1958). Isamu Noguchi, seniman Jepang yang berkolaborasi dengan Graham sebagai perancang set dalam karya ini, menjadikan bagian dari taman tersebut dengan memperlihatkan suasana kesuburannya, keterikatannya, simetrisnya pohon, tumbuhnya yang vertikal, dan jaringan dengan dahan dan ranting. Keseluruhannya didesain untuk menekankan hubungan antar elemen di taman tersebut. Dalam karya Adam & Eve, misalnya, Graham menggunakan teknik gerak kontraksi untuk menunjukkan seksualitas, tapi juga kemarahan, tekanan, dan intensitas dalam pengalaman emosional. Bajunya bukan daun, akan tetapi ada eksplorasi psikologis di setiap karakter yaitu berupa orang nyata dalam situasi kultural dan historik yang spesifik.
-Tarian modern (modern dance) abad ke-20 mengkombinasikan Imitative & Replicative: Dorris Humphrey, Charles Weidman, Mary Wigman, José Limon, Hanya Holm, dan Martha Graham biasanya menggunakan episode-episode singkat imitatif diantara struktur naratif dari replicatif. Imitation bisa juga hadir di antara struktur naratif Reflection. Misalnya dalam karya Cunningham. Gestur imitatif terjadi tidak sering dan tak dapat ditebak, hanya sebagai pengingat bahwa tarian tersebut, jika tentang sesuatu di dunia, adalah tentang repertoar tubuh manusia yang diartikulasikan.
Styles (gaya)
Istilah Style atau Gaya telah digunakan untuk beberapa aspek dalam tari: penari menampilkan gaya personal, gerakan tari dapat dilakukan dalam gaya yang diberikan, koreografer dapat diidentifikasi dengan gaya mereka, dan bahkan tari tradisi dapat mengacu pada gaya tertentu. Style adalah hasil dari 3 susunan kesepakatan koreografis: kualitas dalam suatu gerakan, penggunaan karakteristik bagian tubuh, dan orientasi penari di ruang tampil.
Kualitas gerakan mengacu pada tekstur atau usaha yang dilakukan ketika mengeksekusi sebuah gerakan, disebut juga effort. Paling mudah diobservasi ketika membandingkan dua penari menarikan tarian yang sama. Misalnya penari ballet asal (waktu itu) Uni Soviet yang membelot ke Perancis, Rudolf Nureyev, lebih bergairah dan menampilkan persona yang dominan, sedangkan penari ballet asal Uni Soviet juga yang membelot ke Amerika, Mikhail Baryshnikov, cenderung menunjukkan gaya yang lebih rileks dan menekankan presisi. Dalam hal ini, koreografer dan teoretikus gerak asal Jerman, Rudolf von Laban, bisa menyusun sistematika kualitas gerak secara komprehensif. Effort dibagi menjadi 4 komponen: ruang, waktu, bobot, aliran. Terdiri dari dua dimensi yang berlawanan. Lain lagi dengan Deborah Hay yang menggunakan metafora untuk mendeskripsikan kualitas gerakan, yaitu dengan mengimajinasikan sebuah balon helium perak di ujung jari yang menjadikan tubuh penari ringan.
Karakteristik bagian tubuh menggunakan asosiasi simbolis yang beragam. Gaya Isadora Duncan misalnya menjadi sangat revolusioner dalam tari dunia karena menggunakan ulu hati sebagai sebuah bagian yang independen dan menjadi sumber motivasi gerak. Graham juga dengan torso yang tadinya kaku di ballet abad ke-19, memperkenalkan abdomen bawah dan pelvis.
Yang terakhir adalah karakter penggunaan ruang dimana setiap koreografer memiliki preferensi pilihan bentuk panggung, pembagian fokus dalam panggung, bentuk pola lantai, keluar masuk penari, dan lain sebagainya,
Vocabulary (kosa gerak)
Selanjutnya penonton dapat memperhatikan struktur organisasi tari dengan memperhatikan gerakan dasarnya dan kemudian mempelajari bagaimana gerakan ini disusun. Tarian seperti ballet dan tarian rakyat (folk dance) sudah memiliki kamus gerakan dengan referensi verbal: pirouette, allongé, arabesque, assemble, attitude, adagio, balançoire, dan banyak lagi. Sejumlah koreografer juga memiliki kosa gerak yang khas. Duncan misalnya menggunakan elemen gerak manusia seperti berjalan, berjingkat, berlari, berayun, dan melenggang. Sedangkan Martha Graham menggunakan kontraksi, rilis, spiralnya. Humphrey mengaplikasikan jatuhan, bangkit, penggunaaan iga, dan bahu. Wigman yang banyak mendapatkan pengaruh dari Laban dalam proses kreatifnya mengolah elemen ruang dan waktu.
Sintaks
Dalam menganalisa sintaks, penonton menentukan kenapa gerakan yang satu diikuti gerakan yang lain dengan prinsip tertentu, yang menginformasikan pemilihan dan kombinasi gerakan-gerakan individu. Ada sejumlah variasi sintaks: Mimesis, Pathos, dan Parataxis.
Mimesis berarti pengulangan, sedangkan Pathos merupakan pegangan sejumlah bagian dan tarian secara utuh. Misalnya Balanchine perlu mendengar musik terlebih dahulu baru menari. Lain halnya dengan Graham yang bergerak terlebih dahulu dan feeling jadi pegangan. Parataxis adalah ragam prinsip penyusunan teknis dan variasinya dalam ruang dan waktu tertentu.
MEMBACA PERTUNJUKAN (Reading the performance)
Susan Foster menyajikan susunan petunjuk secara struktural untuk memahami makna tari. Tapi penonton perlu melihat secara utuh: harmoninya, tekanan dari tari yang memiliki energi juga. Ada banyak kombinasi penggunaan konvensi atau pakem dalam menganalisa tari sebagaimana disebutkan di atas. Ada banyak pula intepretasi sebagaimana banyaknya penonton yang menyaksikan pertunjukkan tari tersebut.
Membaca tari memperkaya dan menghidupkan pengalaman kita akan sebuah karya. Semakin kita familiar dengan signifikansi koreografis, semakin kuat memori kita akan gerakan, semakin kita melihat tari secara kinestetik, visual, dan aural semakin kita bisa bergerak dan ‘tergerak’ dengan tarian tersebut.